cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
,
INDONESIA
Jurnal Hukum Acara Perdata ADHAPER
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Social,
Jurnal Hukum Acara Perdata ADHAPER (JHAPER) adalah terbitan berkala yang dikelola dan dipublikasikan oleh Asosiasi Dosen Hukum Acara Perdata (ADHAPER), suatu organisasi profesi yang menghimpun para dosen perguruan tinggi negeri yang mengajar dan menekuni mata kuliah Hukum Acara Perdata. Jurnal ini menjadi wadah bagi para dosen yang tergabung dalam ADHAPER, para praktisi hukum dan pengamat hukum untuk memberikan kontribusi pemikiran berupa artikel hasil penelitian dan artikel konseptual untuk dipublikasikan dan disebarluaskan kepada publik. Jurnal Hukum Acara Perdata ADHAPER juga mengemban misi sebagai salah satu media untuk menampung dan mempublikasikan gagasan-gagasan yang mendorong dilakukannya pembaharuan Hukum Acara Perdata Nasional Indonesia oleh Pemerintah dan Legislatif.
Arjuna Subject : -
Articles 10 Documents
Search results for , issue "Vol 2, No 2 (2016): Juli - Desember 2016" : 10 Documents clear
TRANSPLANTASI COMMON LAW SYSTEM KE DALAM PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN Arsha Putra, I Putu Rasmadi
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 2, No 2 (2016): Juli - Desember 2016
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (744.115 KB) | DOI: 10.36913/jhaper.v2i2.33

Abstract

Mengambil sistem hukum yang berasal dari negara lain yang dikembangkan menjadi model hukum di negeri sendiri, bukanlah sesuatu yang baru bagi Negara Indonesia. Hal ini sangat dipengaruhi oleh Asas konkordansi yang dianut sebagai politik hukum Indonesia pada masa Hindia Belanda dan terus dikembangkan pada masa kemerdekaan menjadikan sebuah contoh nyata, Transplantasi hukum terus berlangsung yang dimulai dari zaman pra Kolonial Belanda, hingga sekarang. Begitu juga mengenai Penyelesaian Sengketa Konsumen yang diamanatkan Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, sehingga dibentuklah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 2001 tentang Pembentukan BPSK pada beberapa kota di Indonesia. Konon Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) ditransplantasi dari Common Law System dengan model The Small Claims Court (SCC) dan The Small Claims Tribunal (SCT). Small Claims Court (SCC) dan The Small Claims Tribunal (SCT) berhasil ditransplantasikan dalam hal substansinya tapi gagal dalam penerapannya karena terjadi benturan perbedaan sistem hukum, dimana sistem hukum Indonesia memiliki struktur, substansi dan budaya tersendiri yang berbeda dengan sistem hukum yang lain. 
PERLIDUNGAN HAK KONSUMEN TERHADAP PELAKU USAHA YANG DINYATAKAN PAILIT Hartanto, Heri
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 2, No 2 (2016): Juli - Desember 2016
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (662.52 KB) | DOI: 10.36913/jhaper.v2i2.38

Abstract

Kepailitan pada prinsipnya bertujuan untuk menyelesaikan sengketa utang-piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif. Dengan syarat yang relatif mudah, debitor dapat dipailitkan hanya karena 2 utang atau lebih dan tidak membayar lunas salah satu utang yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih. Bagi seorang pengusaha, menjalankan kegiatan usaha dengan bermodal utang merupakan hal yang wajar, dan seringkali terdapat sengketa dari transaksi dengan mitra bisnis berakibat penundaan pembayaran yang berarti dapat menambah jumlah kreditor/utang. Pembayaran utang Debitor Pailit kepada pada kreditor harus memperhatikan prinsip paritas ceritorium, prinsip pari passu prorata parte dan prinsip structured creditors. Bagi debitor yang telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga, seluruh kreditor baik setuju atau tidak dengan langkah mempailitkan debitor, akan terikat dengan putusan pailit tersebut. Penerapan prinsip structured creditors dalam pembayaran kepada para kreditor tentu akan memberikan keuntungan kepada kreditor separatis maupun kreditor yang memiliki hak didahulukan (preferen), namun akan berdampak buruk bagi kreditor konkuren. Pasal 19 Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlingungan Konsumen, mengatur Pelaku Usaha berkewajiban untuk mengganti rugi apabila konsumen dirugikan akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang harus segera dibayar dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. Apabila Pelaku Usaha yang memberikan barang dan/atau jasa dipailitkan oleh Pengadilan Niaga atas pemohonan kreditor atau debitor itu sendiri. Salah satu kelompok kreditor dalam hal Pelaku Usaha yang dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga adalah para Konsumennya. Dalam Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah diatur tersendiri tentang bagaimana penyelesaian sengketa konsumen dengan menenpatkan posisi konsumen sebagai pihak yang diberi perlindungan. Namun dengan dipailitkannya Pelaku Usaha, menjadikannya tidak cakap hukum dan kehilangan wewenang untuk mengelola kekayaannnya sendiri kemudian beralih kepada kurator. Ketidak mampuan Pelaku Usaha yang dinyatakan pailit untuk memenuhi hak konsumen menempatkan konsumen diposisi sebagai kreditor konkuren dan tidak memiliki hak untuk didahulukan.
LEMBAGA EKSAMINASI PERTANAHAN SEBAGAI ALTERNATIF MODEL PENYELESAIAN SENGKETA DI BIDANG PERTANAHAN M. Hamidi Masykur
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 2, No 2 (2016): Juli - Desember 2016
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (806.39 KB) | DOI: 10.36913/jhaper.v2i2.34

Abstract

Land problem is an issue that often causes dispute prolonged in the dynamics of lives of many Indonesian’s people. Government efforts to serious in minimize or reduce conflict of agrarian affairs (land) proven with the establishment of decree of the Regulation of The National Land Agency Republic Indonesia Number 12 Year 2013 about Land Examination. Land Examination institutions have the authority to resolve the conflict through researchers land, examiner and give the recommendations of the decision and the concept of the decision to give regulation, conversion/affirmation/recognition, the cancellation of land rights published The National Land Agency. In 2011 the government also has imposed The National Land Agency decree of Regulation of The National Land Agency Republic Indonesia Number 12 Year 2013. The regulation is the institutional mechanism orders the title land cases in land dispute resolution. The question is then could land examination institutions (Regulation of The National Land Agency Republic Indonesia Number 12 Year 2013) as a land dispute resolution outside of court (alternative dispute resolution) able to answer the problem of land conflicts that become contributors to the case in the supreme court. An excess of this institution is examination can settle the dispute quickly, and his ruling is a win win solution, reduce the cost of conventional litigation and withdrawal of the usual time happened, prevent a legal dispute that usually go to court. The weakness of the institution examination this is a lack of socialization, not all the areas of The National Land Agency forming Examination Team. Optimization of land examination institutions required to land dispute settlement can be immediately solved without judicial mechanisms of course take a long time and not completed.
PRINSIP PILIHAN HUKUM DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PADA KONTRAK E-COMMERCE TRANSNASIONAL Moh Ali
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 2, No 2 (2016): Juli - Desember 2016
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (800.237 KB) | DOI: 10.36913/jhaper.v2i2.39

Abstract

Globalisasi dalam sekala internasional menimbulkan masalah baru dalam hubungan kontraktual. Kontrak yang salah satu pihaknya ada pihak asing, berimplikasi pada persoalan pilihan hukum. Dalam Kontrak konsumen kedudukan konsumen dipandang mempunyai bargaining position yang lemah. Prinsip-prinsip hukum internasional bidang e-commerce umumnya membolehkan sebuah negara mengatur kegiatan yang mempunyai akibat yang penting dan besar (substantial effect). Oleh karena itu diperlukan perlindungan dan proteksi dari negara bertalian dengan prinsip pilihan hukum yang digunakan. UUPK, UU ITE, UUP maupun HPI Indonesia belum memberikan jaminan perlindungan yang tegas berkaitan dengan pilihan hukum dalam kontrak e-commerce bersekala transnasional sehingga muncul legal gap. Prinsip-prinsip pilihan hukum yang lazimnya didasarkan atas kebebasan berkontrak dan kesepakatan para pihak mengalami pergeseran paradigma terutama didasarkan doktrin negara kesejahteraan dimana ruang publik perlu mendapatkan perlindungan. Dalam soal penyelesaian sengketa, kebanyakan negara civil law menganut prinsip country of reception yaitu aturan yang memperbolehkan konsumen pemakai terakhir (end user) menerapkan Undang Undang Perlindungan Konsumen negaranya. Prinsip ini dikecualikan terhadap transaksi konsumen dan tidak berlaku pada kontrak e-commerce antara pengusaha. Prinsip ini diambil dari konvensi Roma dan Konvensi Brussel yang diresipir ke dalam Directive yakni Undang-undang bagi komunitas MEE (Europe Union). Untuk mengatasi legal gap pada penyelesaian sengketa e-commerce transnasional maka perlu dilakukan legal reform yang mengadaptasi kerberlakuan prinsip country of reception ini ke dalam regulasi Indonesia sehingga kepentingan konsumen dapat terlindungi.
INKLUSIVITAS PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN MELALUI TANGGUNG JAWAB MUTLAK : SUATU TINJAUAN TERHADAP GUGATAN KEBAKARAN HUTAN DI INDONESIA Anita Afriana; Efa Laela Fakhriah
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 2, No 2 (2016): Juli - Desember 2016
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (734.659 KB) | DOI: 10.36913/jhaper.v2i2.35

Abstract

Satu dasawarsa terakhir, kebakaran hutan seolah menjadi agenda tahunan. Kebakaran hutan marak terjadi di Indonesia, khususnya pada wilayah Sumatera dan Kalimantan. Pembukaan lahan dengan cara membakar hutan kerap menjadi hal yang paling sering dilakukan oleh perorangan atau korporasi. Banyak dampak yang timbul akibat terbakarnya hutan, tidak saja tercemarnya lingkungan, namun juga dampak bagi kesehatan dan keselamatan transportasi. Hingga saat ini baru satu kasus pembakaran hutan yang divonis dengan hukuman denda besar yaitu perkara No. 651K/Pdt/2015, sedangkan putusan yang cukup kontroversi adalah putusan PN Palembang dalam gugatan KLHK RI vs PT BMH, dengan diktum putusan Tergugat tidak terbukti bersalah dilihat dari Pasal 1365 KUHPerdata. Melalui metode yuridis normatif, artikel ini mengulas pertimbangan hukum beberapa putusan hakim dalam perkara kebakaran hutan dan tanggung jawab mutlak yang dapat dibebankan pada Tergugat. Bahwa penegakan hukum dilakukan hakim melalui putusan sebagai produk pengadilan. Pertanggungjawaban mutlak merupakan suatu pengecualian sebagaimana yang diatur Pasal 1365 KUHPerdata. Karena berbeda dari pertanggungjawaban perdata dalam KUHPerdata, maka penerapannya bersifat inklusivitas antara lain dalam hal pencemaran lingkungan. Dalam memutus perkara pencemaran lingkungan seyogyanya hakim mempertimbangkan doktrin perdata dibidang lingkungan yaitu berdasarkan kesalahan tanpa pembuktia (liability without fault). Hakim pun dapat melakukan interprestasi sebagaimana dalam putusan No. 651K/Pdt/2015, mengingat UU No. 32 Tahun 2009 tidak secara spesifik menyebutkan kebakaran hutan sebagai kegiatan yang menimbulkan ancaman serius.
PENEGAKAN HUKUM YANG BERKEADILAN DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PERDATA DI PENGADILAN BERDASARKAN HUKUM ACARA PERDATA YANG PLURALISTIK I Ketut Tjukup; Nyoman A. Martana; Dewa N. Rai Asmara Putra; Made Diah Sekar Mayang Sari; I Putu Rasmadi Arsha Putra
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 2, No 2 (2016): Juli - Desember 2016
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (740.014 KB) | DOI: 10.36913/jhaper.v2i2.40

Abstract

Hukum Acara Perdata yang berlaku sebagai dasar hukum dalam pemeriksaan perkara perdata di Indonesia sampai detik ini sangat pluralistik dan tersebar dalam berbagai Peraturan Perundang-undangan. Berdasarkan Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Darurat No. 1 Tahun 1951 masih tetap mempergunakan HIR (Reglement Indonesia yang diperbaharui STB 1941 No. 44 berlaku untuk wilayah hukum Jawa dan Madura), dan RBg (Reglement daerah seberang STB 1927 No. 227) berlaku luar Jawa dan Madura. Mencermati pluralistiknya hukum acara perdata Indonesia yang sampai sekarang belum memiliki Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata yang nasional, hukum acara yang demikian dalam penerapannya timbul multi interpretasi, sulit mewujudkan keadilan dan tidak menjamin kepastian hukum. Metode dalam penulisan ini ialah normatif dengan penelusuran bahan hukum primer dan sekunder. Pendekatan untuk menganalisis ialah pendekatan perundang-undangan, konseptual dan kasus. Hakim sebagai penegak hukum dan untuk mewujudkan keadilan tidak boleh mulut undang-undang, hakim harus progresif dan selalu memperhatikan perasaan keadilan para pihak dalam proses pemeriksaan di persidangan. Sebagaimana yang diatur oleh moralitas para pihak yang dilanggar selalu menginginkan keadilan atau penegakan hukum identik dengan penegakan keadilan. Dalam perkara perdata beraneka kepentingan akan dituntut hakim yang kritis, menguasai hukum secara koprehensif dan dapat mewujudkan hakikat keadilan dalam penegakan hukum berdasarkan hukum acara perdata yang fluralistik. Persoalan keadilan ialah persoalan yang sangat fundamental dalam penegakan hukum. Perwujudan keadilan haruslah didahului dengan kepastian hukum sehingga sangat diperlukan hukum acara perdata yang unifikasi atau tidak terlalu banyak multi interpretasi, yang akhirnya putusan Hakim yang adil dapat diketemukan. Jadi hukum acara perdata yang pluralistik dalam penerapannya banyak timbul hambatan, tidak mencerminkan kepastian hukum dan sangat sulit mewujudkan keadilan, sehingga sangat diperlukan satu kesatuan hukum acara perdata (unifikasi hukum).
GUGATAN TERHADAP BADAN USAHA MILIK NEGARA (BUMN) SEBAGAI PT PERSERO DALAM PERKARA PERDATA Isis Ikhwansyah
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 2, No 2 (2016): Juli - Desember 2016
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (685.547 KB) | DOI: 10.36913/jhaper.v2i2.31

Abstract

Perseroan Terbatas (PT) sebagai badan Hukum dapat digugat di pengadilan sebagai subyek hukum. Gugatan terhadap PT sebagai badan hukum ditujukan kepada Pengurus PT atau Direktur yang dalam Anggaran Dasar PT (AD PT) dinyatakan bertindak di dalam dan di luar pengadilan mewakili PT sebagai Badan Hukum. Kedudukan BUMN persero sebagai Badan Hukum Publik dalam penegakkan hukum saat ini masih belum terdapat kesepahaman dalam memiliki kekayaan yang terpisah dari kekayaan negara. Berdasarkan hal tersebut maka tujuan dari penulisan ini ingin mengkaji secara akademik, apakah terhadap BUMN persero sebagai Badan Hukum Publik apabila menimbulkan kerugian dalam aktivitas bisnis dapat digugat di pengadilan layaknya PT sebagai badan Hukum dan sebagai subyek hukum privat. Dengan demikian dalam praktik beracara perdata di pengadilan terdapat kejelasan dari BUMN sebagai badan hukum publik untuk digugat dalam perkara perdata karena BUMN sebagai badan hukum memiliki kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan Negara yang berasal dari APBN. BUMN Persero memiliki kekayaan sendiri, dapat bertindak dalam lalu lintas hukum dengan perantaraan pengurusnya, sehingga apabila BUMN tersebut menimbulkan kerugian terhadap pihak ketiga, maka akibat kerugian yang ditimbulkan oleh BUMN, pihak ketiga dapat menggugat di muka hakim terhadap BUMN dengan kekayaan yang dimilikinya dan terpisah dari kekayaan pribadi organ BUMN. Kekayaan BUMN persero dengan kekayaan negara merupakan hal yang terpisah. Dengan adanya pemisahan kekayaan ini berarti kerugian yang dialami oleh BUMN tidak dapat disamakan dengan kerugian negara. UU BUMN yang merupakan aturan hukum khusus dan lebih baru dibandingkan dengan peraturan terkait, maka dapat menggunakan asas lex specialis derogat legi generali dan lex posteriori derogat legi priori.
KARAKTERISTIK HUKUM ACARA PERSAINGAN USAHA Galuh Puspaningrum
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 2, No 2 (2016): Juli - Desember 2016
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (985.905 KB) | DOI: 10.36913/jhaper.v2i2.36

Abstract

Hukum persaingan usaha merupakan seperangkat aturan terhadap keseluruhan yang mencakup bidang persaingan usaha mengenai kegiatan-kegiatan yang diperkenankan dan yang dilarang dilakukan oleh pelaku usaha. Pokok-pokok pengaturan hukum persaingan usaha diatur dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha yang Tidak Sehat atau dapat disebut dengan UU No.5/1999 yang meliputi Perjanjian yang dilarang, Kegiatan yang dilarang, Posisi dominan, Komisi pengawas persaingan usaha dan tata cara penanganan perkara. Dalam melaksanakan penegakan hukum di bidang hukum persaingan usaha digunakan hukum formil yang di atur dalam Pasal 38 sampai dengan Pasal 46 UU No.5/1999, mengingat di dalam hukum matertiil terkandung hukum formil. Di dalam Hukum Acara Persaingan Usaha terkandung hukum formil yang bermuara pada hukum acara perdata, meliputi prinsip-prinsip hukum acara perdata, mekanisme penyelesaian dan sifat putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang memiliki kekuatan hukum tetap serta pelaksanaan putusan sampai dengan upaya hukum keberatan ke peradilan umum dan apabila pelaku usaha tidak melaksanakan putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Dalam hal ini terdapat inkonsistensi dalam hukum acara persaingan usaha sehingga menimbulkan permasalahan dalam pengembanan hukum pada tataran teoritis dan praktisnya.
PENJATUHAN PUTUSAN VERSTEK DALAM PRAKTIK DI PENGADILAN AGAMA DAN PENGADILAN NEGERI BANDUNG DALAM KAJIAN HUKUM ACARA PERDATA POSITIF DI INDONESIA Ema Rahmawati; Linda Rachmainy
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 2, No 2 (2016): Juli - Desember 2016
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (744.915 KB) | DOI: 10.36913/jhaper.v2i2.32

Abstract

Dalam proses beracara perdata di pengadilan, para pihak tidak selamanya hadir dalam proses persidangan. Ketidakhadiran dapat dilakukan oleh penggugat ataupun oleh tergugat. Ketidakhadiran ini membawa konsekuensi hukum tersendiri. Ketidakhadiran tergugat diatur di dalam Pasal 125 HIR yang dikenal dengan putusan di luar hadir (verstek). Mengenai kapan dijatuhkannya putusan verstek ini menjadi variatif di dalam praktik. Pada prinsipnya, walaupun tergugat tidak hadir, suatu persidangan pemeriksaan perkara haruslah berjalan adil dengan memperhatikan kepentingan dan hak dari tergugat. Perlu diketahui bagaimana pelaksanaan penjatuhan putusan verstek tersebut di dalam praktik di Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri [Bandung] dalam kajian Hukum Acara Positif Indonesia. Penjatuhan putusan verstek dalam praktik di Pengadilan Agama Bandung umumnya dilakukan dalam perkara perceraian (gugat cerai atau cerai talak). Penjatuhan putusan verstek umumnya dilakukan setelah tergugat dipanggil dua kali untuk persidangan hari pertama, tetapi tidak hadir di persidangan tanpa alasan yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 125 jo Pasal 126 HIR. Pelaksanaan penjatuhan putusan verstek dalam praktik di Pengadilan Negeri Bandung mayoritas dilakukan dalam perkara perceraian serta perkara lainnya (perkara wanprestasi, perbuatan melawan hukum). Dalam praktik, sebelum dijatuhkan putusan verstek, pemanggilan kepada tergugat yang diketahui tempat tinggalnya tetapi tidak hadir pada hari sidang pertama tanpa alasan yang sah, maka pemanggilan akan diulang kembali dan maksimal dilakukan dua kali pemanggilan. Adapun untuk tergugat yang tidak diketahui tempat tinggalnya/tempat kediamannya, pemanggilan kembali untuk hari sidang pertama yang ditentukan umumnya maksimal dilakukan tiga kali pemanggilan sebelum akhirnya dilanjutkan ke proses pembuktian dari penggugat dan pada gilirannya akan dijatuhkan putusan verstek pada hari sidang berikutnya.
EKSISTENSI PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN KERJA DI INDONESIA Agus Mulya Karsona; Efa Laela Fakhriah
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 2, No 2 (2016): Juli - Desember 2016
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (715.575 KB) | DOI: 10.36913/jhaper.v2i2.37

Abstract

Keberadaan Pengadilan Hubungan Industrial yang menggantikan kedudukan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan ditandai dengan adanya perubahan mekanisme penyelesaian perselisihan perburuhan dimaksudkan agar proses penyelesaian perselisihan dapat dilaksanakan secara cepat, tepat, adil dan murah seiring dengan perkembangan era industrialisasi dan ilmu pengetahuan. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial perlu dilaksanakan secara cepat, karena berkaitan dengan proses produksi dan terciptanya hubungan industrial yang harmonis dalam suatu hubungan kerja. Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. Mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial dilaksanakan berdasarkan ketentuan Pasal 56 UU Nomor 2 Tahun 2004, bahwa Pengadilan Hubungan Industrial mengadili perkara-perkara sebagai berikut; ditingkat pertama mengenai perselisihan hak; di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan; di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja; dan di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. Adapun yang dimaksud dengan perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan. Dalam tataran implementasinya praktik penyelesaian sengketa melalui Pengadilan Hubungan Industrial, masih mengalami banyak permasalahan seperti; Gugatan tidak mencantumkan permohonan sita jaminan; Putusan yang memerintahkan pengusaha untuk mempekerjakan kembali pekerja sulit dilaksanakan karena terkait kebijakan dari perusahaan; Terkait kewajiban penggugat dari pihak pekerja yang harus memberikan pembuktian, menurut hakim Makassar beban pembuktian khususnya terkait surat-surat sulit dipenuhi oleh pekerja dan menjadi kendala dalam proses gugatannya. Akan tetapi untuk mengatasi hal tersebut hakim Surabaya melakukannya dengan mendatangkan saksi-saksi baik teman saat bekerja atau tetangga; Penyelesaian sengketa hubungan industrial melalui Pengadilan Hubungan Industrial ada kecenderungan menurun, hal ini disebabkan oleh antara lain : pekerja seringkali kalah dalam persidangan; putusan seringkali tidak bisa dieksekusi; pengusaha tidak melaksanakan kewajibannya (ada saran negatif dari pihak pengacara); kemampuan membuat gugatan dari pekerja; kemampuan membayar pengacara dari para pekerja.

Page 1 of 1 | Total Record : 10